"karena yang kaukira adalah mimpi indah, belum tentu
berakhir dengan indah."
Sempurna!
Foto ke seratus tiga puluh tiga. Rizal tersenyum memandangi setiap lekuk
sempurna di tubuh wanita itu. Jemarinya menyentuh layar SLR yang ia genggam,
dengan pelan dan hati-hati. Seandainya, dengan tangannya, ia bisa benar-benar
menyentuh wanita itu. Wanita itu sempurna. Keningnya, hidungnya, telinganya, bibirnya,
seakan-akan tanpa noda. Pahatan tangan Tuhan yang mahakarya. Rizal tak bicara
banyak, ia hanya mampu tersenyum dan menatap, tanpa berani menyentuh juga
mengeluh.
Langkahnya melewati lorong tempat lukisan-lukisan terpajang di dinding. Mulai
menjauh dari wanita itu. Cahaya terang dalam ruangan membiaskan bayang-bayang
orang yang berjalan dan mengamati benda-benda seni. Rizal turut masuk dalam
keramaian yang ada, lalu-lalang penikmat seni yang melihat dengan teliti kadang
juga dengan langkah terhenti. Mereka berfokus pada beberapa karya seni yang
menarik dan apik. Tapi, Rizal tak terlalu tertarik. Ada sesuatu yang lebih
penting dari pameran ini. Wanita yang ia koleksi potretnya. Sudah lama. Sejak
satu tahun yang lalu.
Kakinya berjalan menuju area pameran perfilman, dari sudut yang tak diketahui, Rizal
masih saja memerhatikan wanita itu. Ia seperti terhipnotis, jemarinya kembali
memotret sosok manis, walau hanya punggung dan rambut panjangnya saja yang
tertangkap kamera. Rizal bersandar di dinding seakan-akan tak ingin wanita itu
mengetahui kehadirannya. Ia sedikit menggerakan kepalanya, wanita itu masih di
sana, mengagumi karya-karya yang tercipta.
Wanita itu telah menganggu hari-harinya, dengan berbagai macam cara. Dengan
rindu yang memburu, dengan kangen yang mengamit resah, dengan bayang-bayang
yang semakin menusuk asa. Semuanya! Rizal tak pernah melewatkan dan melupakan
detail siluet tubuh wanita yang hampir saja membuatnya gila.
Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke area perfilman. Wanita itu
menghilang secara tiba-tiba. Raib tak berbekas. Rizal menyapu pandangan ke
segala arah. Tetap saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran. Menatap
keramaian yang ada. ia menatap setiap wajah. Namun, wanita itu tak ada.
Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara tiba-tiba dan sulit
diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu lagi, untuk bertemu dengan wanita
itu. Padahal, perasaan kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat.
Rizal tetap menunggu, setia untuk menunggu.
Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan, meskipun menyakitkan, tapi Rizal tetap
ingin melakukan itu. Memang tak ada alasan mengapa Rizal harus menunggu, ia
hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak ada alasan, karena
menunggu kadang memang tak perlu penjelasan juga alasan bukan ? Menunggu
seperti fase yang harus dilewati seseorang, untuk bertemu dengan
kebahagiaannya. Begitu juga Rizal. Entah sampai kapan, dan berakhir dengan
bahagia atau luka. Rizal hanya tahu menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus
ia tuju. Hari berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa keluhan, Rizal
tetap bertahan.
Rizal
percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang hanya diam-diam mengagumi lalu
sepenuhnya bersembunyi. Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah
kesalahan, apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat dalam? Itulah yang
Rizal rasakan. Awalnya, semua tak merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir
dan terlihat semakin nyata, Rizal jadi merasa resah. Ia bahkan hanya tahu nama
bidadari yang dia kagumi.
Sungguh, Rizal percaya kalau dia bukan pengecut. Dia hanya butuh waktu. Iya,
waktu yang tepat. Semua akan indah pada waktunya bukan? Tapi, Rizal seakan-akan
tak tahu waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar
menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Rizal sulit bekerja secara maksimal
saat wanita itu berjarak beberapa meter dari pandangannya, walaupun masih jauh,
bahkan sangat jauh. Rizal tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia hanya
tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin membuatnya tersiksa.
Setiap minggu, di Taman Nasional, selalu ada pameran yang berbeda. Rizal ditugaskan
sebagai fotografer yang mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di
Taman Budaya, Rizal selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena pasti hawa yang
telah merenggut habis perhatiannya akan muncul secara tiba-tiba. Seperti
Cinderella yang tak jelas kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia
pulang. Di balik kemisteriusannya, Rizal tetap jatuh cinta. Ia tak banyak
bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut.
Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya ia menatap seorang satpam
yang menjadi pagar betis di pintu masuk pameran.
***
“Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana, nadanya terdengar tak
percaya.
Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap rokoknya. Beliau adalah penanggung
jawab pameran yang mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman Nasional.
Agak keras.
Tanpa ungkapan, Rizal mengangguk mantap.
“Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk ke arah Rizal.
“Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.”
“Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu tak ingin lagi jadi
fotografer?”
“Sangat penting. Ini soal takdir.”
“Takdir? kamu jangan becanda tho.”
“Saya serius, Pak.”
“Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang satpam, Nak Rizal.”
“Saya tidak mengejar gaji.” jelas Rizal singkat, suara renyahnya menenangkan
perasaan Pak Karjo yang terkejut.
“Lantas, kamu mengejar apa?”
“Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.”
“Apa?”
“Cinta.”
***
Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu sorot turut membantu bulan
menerangi gelapnya malam. Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai
seni tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada penonton yang
meramaikan panggung Taman Nasional juga meramaikan ruang pameran Taman Nasional.
Rizal
berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah bajunya dan topi satpam yang ia
kenakan. Pentungan yang kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga
dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki ruang pameran mulai
ramai, tugas Rizal dan kawanan satpam lainnya adalah membuat pagar betis agar
antrean tak berdesak-desakan dan ruangan di dalam pameran berkapasitas pas,
tidak terlalu penuh dan sesak.
Suasana di pintu masuk pameran memang cukup ramai, maklum malam minggu.
Penikmat seni yang datang juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto,
bertindik anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa dan
sederhana. Bermacam-macam penikmat seni diperhatikan oleh Rizal, satu persatu
wajah mereka mampir dalam tatapan mata Rizal. Namun, wanita yang ia tunggu dan
ia cari tak ada.
Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam, ketika antrean mulai semakin
ramai oleh orang-orang yang habis menonton panggung musik tadi. Rizal mulai
bosan dan lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia sempat
didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni yang menunggu di pintu masuk
pameran.
Rizal
masih bersabar, ia melempar pandangan ke segala arah. Hingga pada suatu ketika,
seorang wanita berdiri di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.
Jantung Rizal berdebar cepat. Wanita itu.
Jarak Rizal memandangnya kini lebih dekat, hanya beberapa sentimeter, tak
lagi bermeter-meter. Sekitar beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Rizal
seakan-akan tak bernapas.
“Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu dengan suara lembut, yang membuat Rizal
semakin tak percaya pada apa yang ia lihat.
“Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Rizal terbata-bata.
“Antreannya ramai juga ya?”
“Iya, lumayan, Mbak.”
Rizal
tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan selebihnya tak tahu harus berbuat
apa. Rizal mengerti bahwa debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan
oleh wanita yang berada di hadapannya.
“Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam gedung bukan di luar
gedung.”
“Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Rizal mengelak.
“Iya, mungkin aku salah lihat ya.”
“Mbaknya dari mana?”
“Habis dari Malioboro.”
“Oh, sendirian?”
Pertanyaan Rizal adalah pertanyaan pancingan, kesempatan.
Wanita itu
baru ingin membuka suara, namun tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.
Perempuan kecil yang menggemaskan itu membawa sebuah kunciran pada pergelangan
tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di belakang hingga ke depan, mendekati
wanita itu.
“Mama, rambut Adek berantakan.” kata perempuan kecil dengan suaranya yang
manja.
Rizal terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak enak.
Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam tubuhnya, ia semakin sulit
bernapas. Detak jatungnya malah pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal
napasnya, seorang pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri
di samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu berada di posisi
itu.
Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka dan
para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu tersenyum sambil menatap Rizal,
lalu kemudian meninggalkannya. Tapi, Rizal tak berhenti menatap, ia masih
terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan. Mereka memasuki gedung
pameran, Rizal masih tak berhenti memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa
kuncir rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria berkacamata yang
berdiri tepat di sampingnya merangkul dengan mesra wanita yang telah Rizal cintai
selama ini.
Helaan
napas Rizal terdengar berat, ia berjalan terhuyung-huyung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar